Senin, 07 Januari 2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri diluar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudian memperkenalkan ucapannya “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang dimaksud dengan realitas sosial?
2.      Mengapa konstruksi sosial dikatakan sebagai ilmu dan filsafat?
3.      Tahap-tahap apa saja yang dilalui dalam proses melahirkan konstruksi sosial media massa?
4.      Mengapa realitas sosial dikatakan sebagai bentukan dari media massa?
5.      Apakah bahasa merupakan realitas sosial iklan?
6.      Nilai-nilai apa yang muncul akibat acuan konstruksi sosial media massa?





BAB II
REALITAS MEDIA DAN
KONSTRUKSI SOSIAL MEDIA MASSA

A.     Diskursus Realitas Sosial
Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri diluar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi “sosial”, oleh Weber dikatakan, kalau yang dimaksud subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kekuatan orang lain dan mengarah kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat.
B.     Konstruksi Sosial Sebagai Ilmu dan Filsafat
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Descartes kemudian memperkenalkan ucapannya “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
Pada tahun 1710, Vico dalam “De Antiquissima Italorum Sapientia”, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Ia menjelaskan, “mengetahui”  berarti “ mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Hal ini berarti seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yaitu konstruktivisme radikal, konstruktivisme realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa. Kontruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis objektif, namun sebagai sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Dalam pandangan realisme hipotesis pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif  individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat.
Jika konstruksi sosial adalah konsep kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontekstual. Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat. Sehingga wacana yang diciptakan oleh negara akhirnya dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari hegemoni itu.
Frans M. Parera (Berger dan Luckmann, 1990:xx) menjelaskan, tugas pokok sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan yaitu :
§  Eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai sebagai produk manusia.
§  Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dikembangkan atau mengalami proses institusionalisasi.
§  Internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Sosialisasi yang tidak sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses eksternalisasi yang di kmaksud Berger dan Luckmann.
C.     Konstruksi Sosial Media Massa; Kritik Terhadap Berger dan Luckmann
1.      Tahap Konstruksi Sosial Media Massa
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas  Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.
Melalui Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjectivasi, dan internalisasi. Dengan demikian sifat-sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis.
Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas. Dari konten konstruksi sosisal media massa, proses  kelahiran  konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a.       Tahap Menyiapkan Materi konstruksi
Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan dengan tiga hal yaitu harta, tahta, dan wanita.
b.      Tahap Sebaran Konstruksi
Pilihan-pilihan wilayah sebaran adalah strategi lain dalam sebaran konstruksi media berdasarkan pada segmentasi. Pilihan-pilihan sumber informasi juga dapat dipilih berdasarkan pemetaan kekuasaan sosial informasi itu di masyarakat.
c.       Pembentukan Konstruksi Realitas. Tahap ini terbagi atas dua yaitu tahap pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra.
d.      Tahap Konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.
2.      Realitas Media ; Realitas Yang Dikonstruksikan Oleh Media Massa
Realitas media adalah realitas yang dikonstruksi oleh media dalam dua model antara lain :
§  Model Peta Analog  yaitu model dimana realitas sosial dikonstruksi oleh media berdasarkan sebuah model analogi sebagaimana suatu realitas itu terjadi secara rasional.
§  Model Refleksi Realitas yaitu model yang merefleksikan suatu kehidupan yang terjadi dengan merefleksikan suatu kehidupan yang pernah terjadi di dalam masyarakat.

D.     Realitas Sosial Bentukan Media Massa ; Iklan Televisi
Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi substansial, seperti beberapa sistem norma dimasyarakat, umpamanya sistem komunikasi, seni pertunjukan,dsb. Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat, televisi menguasai pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun teater dalam pikiran manusia, sebagaimana gambaran realitas dalam iklan televisi.
Wacana simulasi adalah ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, dimana manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungan antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk kapitalisme lebih mempengaruhi jalan pikiran copywriter disaat mereka melalui pekerjaan mereka. Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial walaupun realitas itu sifatnya semu.
Tanpa disadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan visualiser untuk memberi kesan yang kuat terhadap produk yang diiklankan.
E.     Bahasa Sebagai Realitas Sosial Iklan
Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran diri pemirsa yang secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain telah terjadi internalisasi atas realitas sosial yang sesungguhnnya. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan penciptaan realitas dilakukan dengan menggunakan bahasa (verbal maupun visual) atau tanda bahasa (simbol). Ketika akan menciptakan realitas benda, maka bahasa dapat digunakan untuk penggambaran realitas itu, namun disaat akan menciptakan citra realitas terhadap suatu benda, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga digunakan tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut. 
Sebagai bagian dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk melakukan penggambaran tentang sebuah realitas. Demikian pentingnya bahasa sebagai alat iklan, maka didalam iklan bahasa digunakan untuk semua kepentingan. Bahasa juga difahami sebagai wacana dimana iklan dilihat sebagai seni. Artinya, iklan merupakan seni bagaimana orang menggunakan bahasa untuk menawarkan sesuatu.
Jadi, didalam iklan, bahasa digunakan dengan dua tujuan, pertama sebagai media komunikasi dan kedua bahasa digunakan untuk menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi maka iklan bersifat informatif sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah sebuah seni dimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkannya, termasuk menciptakan wacana itu sendiri.
F.      Sumber Nilai Acuan Konstruksi Sosial Media Massa
Umumnya nilai yang dikonstruksi oleh media massa adalah nilai yang bersumber dari redaktur dan para desk media massa. Kalau nilai itu adalah gagasan (bukan fikiran) yang menyatakan apakah perilaku tertentu benar atau salah.
Nilai-nilai lain yang menjadi acuan konstruksi sosial media massa adalah perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana disadari, bahwa perubahan sosial di masyarakat identik dengan gagasan kemodernan. Gagasan kemodernan itu identik dengan kebaratan. Artinya selama perubahan itu datangnya dari barat, maka perubahan itu diterima karena dianggap modern. Gagasan-gagasan tentang kemodernan itu identik pula dengan materi, karena itu nilai tentang baik buruk, berarti atau tidak berarti, pantas atau tidak pantas, semuanya diukur dengan materi dan itu bisa dipertukarkan dengan uang. Siapa saja yang ingin modern maka harus menggunakan simbol-simbol materi kebendaan yang sesuai dengan nilai kebaratan. Untuk itu semua harus dibeli dengan uang. Acuan nilai yang bersumber dari perubahan sosial semacam ini kemudian menebar kemana-mana disegala kehidupan, termasuk media massa. Nilai perubahan sosial memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama yang menekankan gaya hidup modern serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi. Nilai-nilai perubahan sosial juga memiliki kesamaan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh kapitalisme, terutama karena keduanya mengagumkan materi dan secara beriringan mengkonstruksi jalan fikiran serta nilai-nilai yang membimbing redaktur dan pada desk media massa dalam mengemas pemberian-pemberian mereka.  

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Melalui Konstruksi Sosial Media Massa, Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Lukcmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjectivasi, dan internalisasi. Dengan demikian sifat-sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis.
Posisi konstruksi sosial media massa adalah mengkoreksi kelemahan dan melengkapi konstruksi sosial atas realitas, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan konstruksi sosial media massa atas konstruksi sosial relitas.
Nilai perubahan sosial memiliki kaitan dengan kapitalisme terutama yang menekankan gaya hidup modern serta menempatkan nilai materi sebagai puncak nilai tertinggi. Nilai-nilai perubahan sosial juga memiliki kesamaan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh kapitalisme, terutama karena keduanya mengagumkan materi dan secara beriringan mengkonstruksi jalan fikiran serta nilai-nilai yang membimbing redaktur dan pada desk media massa dalam mengemas pemberian-pemberian mereka.  
B.     Saran
Setelah kita membahas konstruksi sosial semoga kita semua dapat memahaminya dengan seksama. Kepada para pembaca semoga dengan penjelasan yang ada dalam makalah kami para pembaca akhirnya mengetahui realitas yang terjadi akibat konstruksi sosial media massa, dengan harapan semoga realitas yang ditimbulkan akibat media massa tidak akan menjerumuskan kita ke dalam jurang khayalan dan dunia maya. Selain itu harapan kami adalah hindari penilaian yang bersifat materi untuk mengikuti gaya hidup modern. Dan kami ucapkan terima kasih atas partisipasi para pembaca, apabila makalah kami ini belum memenuhi standar kebenaran maka kami harap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini.